Oleh: Agus Widjajanto, Pakar Hukum dan Pemerhati Sosial Budaya
Sejarah kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 tak lepas dari perjuangan dan pencerahan para pendiri bangsa. Salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah ini adalah proses penyusunan dasar negara, yang kemudian menghasilkan Pancasila sebagai falsafah hidup dan jati diri bangsa Indonesia.
Bung Karno, proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, dalam bukunya “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, mengungkapkan bahwa Pancasila bukanlah ciptaannya, melainkan sebuah penggalian dari tradisi dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Hal ini dibuktikan dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945, di mana lima butir Pancasila telah diusulkan oleh para pendiri bangsa, seperti Mohamad Yamin, Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno.
Namun, perjalanan penyusunan Pancasila tidaklah mudah. Ada perdebatan mengenai formulasi dari lima sila tersebut, khususnya terkait sila pertama yang awalnya menekankan syariat Islam. Berkat kemandirian dan sifat kenegarawanan dari para pendiri bangsa, sila pertama akhirnya diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mencerminkan negara republik yang melindungi seluruh umat beragama.
Salah satu sumber inspirasi dalam penyusunan Pancasila adalah Kitab Kakawin Negara Kertanegara. Kitab kuno berbahasa Jawa ini, ditulis oleh Mpu Prapantja pada abad ke-14, memberikan gambaran tentang keadilan sosial, kebebasan beragama, keamanan pribadi, dan kesejahteraan rakyat yang tinggi. UNESCO pun telah mengakui keberhargaan kitab ini dan menyertakannya dalam daftar Memory of the World.
Dalam Kakawin Negara Kertanegara, terdapat ayat yang merekonstruksi nilai-nilai Pancasila, yaitu:
“Alasan sang Raja mantab berbakti pada kaki Sri Singha Sakya, karena berusaha memegang teguh pada Pancasila, lima kaidah tingkah laku utama, diresmikan dalam tata upacara penobatan.”
Selain itu, konsep Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “Walaupun berbeda-beda namun satu jua”, juga ditemukan dalam Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, mencerminkan toleransi dan keberagaman yang sudah lama menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Sebagai bangsa maritim, nenek moyang Indonesia telah memiliki tradisi penjelajahan dan hubungan perdagangan jauh sebelum datangnya penjajah. Dengan kapal-kapal kayu jati, mereka telah menjelajahi samudra hingga ke Taiwan, Afrika Timur, Selandia Baru, dan Madagaskar. Ini menunjukkan betapa majunya peradaban dan kebudayaan bangsa Indonesia jauh sebelum era kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit.
Sejarah Majapahit, salah satu kerajaan terbesar di Nusantara, juga menjadi bukti kehebatan peradaban bangsa ini. Dalam Kakawin Negara Kertanegara, sumpah Amukti Palapa dari Maha Patih Gajahmada mencerminkan cita-cita untuk menyatukan Nusantara dalam naungan panji-panji Majapahit.
Kesimpulannya, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja. Ia merupakan hasil refleksi, inspirasi, dan dedikasi para pendiri bangsa yang terinspirasi dari nilai-nilai luhur dan tradisi nenek moyang bangsa Indonesia. Kitab Kakawin Negara Kertanegara, sebagai salah satu sumber inspirasi, menunjukkan betapa Indonesia memiliki kekayaan budaya dan peradaban yang tinggi, yang harus dijaga dan dilestarikan oleh generasi muda sebagai bagian dari identitas bangsa.
Sebagai penutup, bangsa Indonesia memiliki sejarah dan tradisi yang kaya, dimana nilai-nilai luhur tersebut harus terus dijaga dan diteruskan kepada generasi penerus. Sejarah kemerdekaan Indonesia dan proses penyusunan Pancasila menjadi contoh nyata betapa pentingnya menjaga persatuan, toleransi, dan kebhinekaan sebagai fondasi bangsa Indonesia yang majemuk dan beragam.