Oleh Agus Widjajanto
Teosofi adalah paham yang dianut oleh kepercayaan Jawa dalam konsep spiritual. Teosofi berarti Tuhan dan Sofia berarti cinta. Jika diterjemahkan secara terminologi, Teosofi adalah ilmu Ketuhanan untuk mencapai kesempurnaan (yang cinta kebijaksanaan). Teosofi Jawa lebih mengedepankan pencarian kesempurnaan hidup yang didasarkan pada paham Monistik dan Panteistik. Monistik adalah pandangan bahwa Tuhan yang Esa berada, memancar dalam diri manusia dan seluruh alam semesta (Sunatullah). Panteistik menggambarkan alam semesta yang menyatu dengan Tuhan. Keduanya selalu berjalan seiring dalam konsep spiritual Jawa dan diyakini selalu ada dan tidak dapat dipisahkan atau manunggal.
Pemikiran Keeler (Stange 1998: 253-254) menyatakan bahwa Teosofi bercirikan pada rasa. Dalam spiritual Jawa, Teosofi adalah paham yang memanfaatkan rasa (olah batin) dalam proses pencarian Tuhan. Teosofi Jawa menjadi sebuah paham yang memanfaatkan rasa dan laku. Ketika orang Jawa berpikir tentang semesta, mereka menggunakan konsep simbol, termasuk konsep wayang yang bersifat simbolik. Kisah pewayangan mencerminkan kehidupan keagamaan spiritual Jawa, di mana ada penguasa tertinggi, yaitu Dewa, yang dapat menjelma pada diri manusia setelah melalui laku tirakat. Teosofi adalah pandangan yang selalu memuja Tuhan yang berada dalam diri manusia, yang keberadaannya lebih dekat dari urat nadi kita sendiri. Dzat Tuhan diidentifikasi sebagai kekuatan Imanen dan Transenden. Dalam hidup manusia, emanasi berasal dari Dzat yang sempurna, yang menguasai seluruh alam semesta. Dzat itu dalam keadaan kosong (suwung) yang tidak dapat ditangkap, adalah ide sinkretis dari Hindu dan Bhudisme. Dzat Tuhan merasuk dalam diri manusia bagi keyakinan Jawa, yang selalu berupaya menemukan kesejatian Dzat jati itu sendiri. Paham mistik kejawen berawal dari emanasi kekuatan sentral, yang membentuk alam makrokosmos dan mikrokosmos (Prof Suwardi Endraswara, Agama Jawa – Ajaran, Amalan, dan Asal Usul Kejawen).
Raden Ngabehi Ronggo Warsito, pujangga penutup ternama dalam kesusastraan Jawa, dalam tulisannya menjelaskan persoalan keberadaan Allah sebagai Tuhan penguasa semesta. Beliau menyatakan bahwa Allah merupakan Dzat yang maha suci, Qadim Azali abadi. Sebelum menciptakan sesuatu, Allah berdiri sendiri di alam yang kosong. Ketika menciptakan mahluk, mahluk tersebut adalah tajalli dari Dzat Yang Maha Suci. Menurut Ronggo Warsito, kekuasaan dan keberadaan Tuhan berdiri sendiri. Tuhan diibaratkan seperti huruf “Alif” yang disifati dengan wujud, keberadaannya ada dari Dzat itu sendiri. Menurut Ronggo Warsito, tidak ada yang lain selain Dzat Yang Mahasuci yang bersifat Esa, dinamakan Dzat yang mutlak yang kadim Azali abadi.
Ronggo Warsito berpendapat bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat antara Dzat, Sifat, dan Af’ Al (perbuatan) (Prof. Simuh 1988: 285). Prof. Simuh menjelaskan gagasan Ronggo Warsito dengan mengatakan bahwa hubungan antara Dzat dan sifat ditamsilkan seperti hubungan antara madu dan rasa manisnya, demikian juga sifat dan asma Tuhan seperti hubungan matahari dan sinar mentarinya. Antara asma dan Af’ Al (perbuatan) ditamsilkan seperti hubungan benda di muka cermin dengan bayangannya. Gagasan Ronggo Warsito tentang Dzat, Sifat, Asma, dan Af’ Al mirip dengan gagasan Syech Abdul Karim Al-Jilli dalam buku Insan Kamil.
Syech Abdul Jalil atau Syech Siti Jenar mengajarkan sasagidan serta ilmu ma’ Rifat dan hakekat dalam bentuk sufisme wilujudiyah, atau wahdatul wujud. Menurutnya, Tuhan, wujud yang tidak kasat mata, dapat bersatu dengan dirinya pribadi. Bahasa wahdatul wujud diubah menjadi Manunggaling Kawulo lan Gusti, yang dikenal di kalangan masyarakat Jawa, ajaran ini menggambarkan menyatunya mahluk, orang (kawulo) dengan Raja dalam menghadapi Sang Pencipta. Gagasan spiritualnya adalah manusia dan alam semesta berada dalam kesatuan ilahi.
Wahdatul wujud adalah ajaran yang membicarakan tentang keberadaan Tuhan yang dikaitkan dengan alam sebagai ciptaannya. Ajaran ini pada awalnya dibawa oleh Ibnu Arabi dan dikembangkan oleh Hamzah Fansuri. Di Jawa, ajaran ini dikonsep ulang oleh Syech Abdul Jalil atau Syech Siti Jenar, Syech Lemah Abang di Jepara, yang ada di desa Keling, Kabupaten Jepara.
RM Sosro Kartono, ahli kebatinan Jawa, mengajarkan falsafah Jawa yang menjadi pedoman dalam pengajaran budi pekerti terhadap anak-anak oleh para orang tua. Falsafah ini meliputi: Sugih tanpo Bondo (kekayaan yang utama adalah kaya hati, bukan harta benda), Digdoyo tanpo Aji (tak terkalahkan tanpa kesaktian), Ngluruk tanpo Bolo (menyerbu musuh tanpa pasukan), Menang tanpo Ngasorake (menang tanpa merendahkan lawan yang dikalahkan). Selama hidup di Bandung, RM Sosro Kartono mengajar di yayasan Taman Siswa dan melakukan pengobatan kepada masyarakat dengan kekuatan batin, menggunakan media kertas bertuliskan huruf “Alif”. Bagi Sosro Kartono, Dzat Yang Suci adalah penguasa alam semesta, yang keberadaannya sangat dekat dengan diri kita, lebih dekat dari urat nadi kita, yang menyatu pada diri insan Kamil. Orientasi pandangan spiritualnya juga menganut paham Spiritual Jawa, Manunggaling Kawulo lan Gusti dalam pencapaian Ma’krifatullah, dalam keadaan kasaf, di mana diri kita hanya sebagai sarana, mahluk yang tidak memiliki daya apa pun.
Pendapat penulis dalam konsep Spiritualisme Jawa yang berkaitan dengan Teosofi, bahwa Dzat adalah Yang Maha Suci dan Maha Agung, sifat adalah yang mempunyai sifat-sifat Allah sesuai Asmaul Al Husna yang berjumlah 99, di antaranya adalah Ar Rahman, Ar Rahim, Al Malik, Al Quddus, As Salam, Al Mu’min, dan seterusnya. Wujud sesuai dengan Sunatullah, bahwa keberadaan Tuhan bersemayam dalam nukat Ghaib yang tidak sama dengan alam kosong dan menyinari seluruh mahluk yang ada di alam raya dan muka bumi. Pantulan cahaya Illahi itulah sesungguhnya, dalam olah rasa, bagaikan menyatunya antara Kawulo lan Gusti, padahal sejatinya adalah dua hal yang berbeda tetapi menyatu dalam insan Kamil yang keduanya tidak bisa dipisahkan (Roro Ning Tunggal) tetap dalam kondisi Transenden bukan Imanen. Makrifat adalah suatu kondisi di mana dalam spiritual Jawa, manusia sudah mencapai tingkatan mengenal dirinya sekenal kenalnya hingga bisa memahami dan mengerti siapa dan apa serta di mana Tuhan yang Esa tersebut, yang hidayahnya diberikan kepada mahluk yang dicintai-Nya, dan ingin menyatu dengan-Nya, secara Transenden melalui Roro NingTunggal secara harfiah. Itulah konsep Dzat, Sifat, Wujud, dan Makrifat.