Para pendiri bangsa, mulai dari Sidang BPUPKI hingga Sidang PPKI, merumuskan konstitusi sebagai hukum dasar Negara Indonesia. Meskipun terjadi perdebatan di antara anggota, baik dalam Sidang BPUPKI maupun panitia kecil yang dipimpin oleh Soekarno, yaitu PPKI, semua itu bertujuan agar sistem demokrasi kita mencerminkan nafas, budaya, dan karakter bangsa, dengan mengusung sistem perwakilan yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sistem perwakilan melibatkan anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan dalam lembaga tertinggi Negara, yang memiliki mandat untuk mengangkat dan memberhentikan presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Presiden dianggap sebagai mandataris MPR, mencerminkan adab, budaya, serta nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dan filosofi hidup bangsa, dengan pendekatan musyawarah untuk mencapai mufakat bersama.
Sidang BPUPKI menghasilkan rumusan dasar negara, yang kemudian diundangkan sebagai Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Dokumen ini menjadi landasan sistem ketatanegaraan kita dan dikenal dengan nama UUD 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Selanjutnya, setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, masa Reformasi membawa perubahan pada konstitusi sesuai dengan kondisi dan tuntutan reformasi. Namun, perubahan UUD 1945 melalui Amandemen hingga ke empat kalinya menggeser sistem Pemilu Presiden dari mandataris MPR menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Pemilihan langsung ini sesuai dengan konsep suara rakyat sebagai suara Tuhan yang diadopsi dari filsuf Yunani.
Meskipun demikian, perubahan ini juga menimbulkan sejumlah konsekuensi pada postur demokrasi, terutama dalam hubungan antara negara dan masyarakat serta antar masyarakat dalam politik. Pertanyaan muncul apakah perubahan ini telah melibatkan kajian politik dan akademis yang mendalam, deliberasi publik, serta uji publik yang sistematis dan terukur untuk mengantisipasi konsekwensi sosial dari pemilu langsung presiden yang dapat menyebabkan kegaduhan, perseteruan, dan polarisasi.
Selama amandemen hingga empat kali, perubahan ini juga memunculkan pertanyaan mengenai pembiayaan yang besar untuk pemilu presiden secara langsung, di mana uang menjadi faktor penentu. Keterlibatan pemodal besar dalam mendukung calon presiden memunculkan partai politik dan cengkeraman para oligarki. Pemilu presiden yang terpusat pada individu calon mengekspos pencitraan populis melalui media sosial dan lembaga survei, yang rawan dimanipulasi.
Pandangan Prof. Jeffrey Winters mengenai Indonesia sebagai negara demokrasi tanpa hukum setelah jatuhnya Orde Baru menyoroti masuknya sistem politik oligarki. Perbandingan dengan Amerika Serikat menunjukkan perbedaan, di mana Indonesia memiliki puluhan partai politik, sementara Amerika hanya memiliki dua partai utama.
Kritik terhadap kondisi politik saat ini mengarah pada kerinduan akan stabilitas politik zaman Soeharto, di mana stabilitas ekonomi, pertumbuhan, keamanan, dan penegakan hukum dianggap lebih baik. Namun, pertanyaan muncul apakah ini sesuai dengan cita-cita awal para pendiri bangsa, yang merancang sistem perwakilan dengan lembaga tertinggi negara, seperti GBHN, untuk memberikan arahan jangka pendek, menengah, dan panjang kepada bangsa Indonesia.
Masa kampanye dan debat calon presiden dalam pemilu pilpres 2024 menunjukkan pergeseran fokus dari program kerja dan visi misi menjadi serangan pribadi. Hal ini menciptakan gambaran demokrasi yang tidak sesuai dengan karakter dan semangat demokrasi yang dicanangkan oleh para pendiri bangsa, yang menekankan budaya musyawarah untuk mencapai mufakat demi kepentingan bangsa dan negara yang diutamakan di atas segalanya. Dalam era Reformasi, penghancuran peradaban karakter bangsa terjadi, di mana setiap orang dapat bersuara tanpa memperhatikan tanggung jawab sebagai anak bangsa. Pertanyaan muncul apakah ini sesuai dengan cita-cita awal para pendiri bangsa, yang membentuk sistem perwakilan untuk menjaga kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi.
Agus Widjajanto
Praktisi hukum & pemerhati sospolbud tinggal di Jakarta